Rumah
Tradisional Suku Sasak
Hal pertama yang akan ditunjukkan para pemandu kepada
wisatawan adalah bangunan khas Suku Sasak. Ciri khas dari bangunan Suku Sasak
adalah dinding dan tiang terbuat dari bambu, dengan atap yang terbuat dari
alang-alang kering. Keistimewaan dari atap alang-alang ini adalah atap tersebut
akan menyejukkan bangunan saat cuaca terik, namun sebaliknya memberikan
kehangatan di malam hari. Jarak antar bangunan sangat rapat, dan masing-masing
bangunan dihubungkan dengan jalan setapak yang tak bisa dilewati kendaraan
bermotor.
Wisatawan akan
diajak masuk ke dalam Bale Tani, atau rumah tinggal. Nama bangunannya
mencerminkan profesi penghuninya sebagai petani. Bale Tani terdiri dari 3
bagian, bagian pertama yang disebut sesangkok terletak di bagian depan rumah
dan digunakan untuk ruang tidur orang tua dan anak lelaki. Bagian kedua
terletak di lantai atas yang disebut Dalem Bale, dan berfungsi sebagai ruang
tidur anak gadis sekaligus sebagai dapur. Di dalam Dalem Bale terdapat bagian
ketiga yang disebut Bale Dalam. Ruangan kecil ini digunakan untuk pengantin
atau tempat melahirkan. Jumlah Bale Tani di Desa Sade kurang lebih 150 rumah,
sama dengan jumlah kepala keluarga di desa tersebut.
Salah satu keistimewaan dari Bale Tani adalah cara
perawatannya. Seminggu sekali lantai Bale Tani digosok dengan kotoran kerbau
yang dicampur sedikit air, kemudian setelah kering disapu dan digosok dengan
batu. Penggosokkan dengan kotoran kerbau ini berfungsi untuk membersihkan
lantai dari debu, memperkuat lantai, serta menghangatkan rumah di malam hari.
Masyarakat Sasak percaya bahwa kotoran kerbau tersebut dapat mengusir serangga
sekaligus menangkal serangan magis yang ditujukan pada penghuni rumah.
Di depan Bale Tani, terdapat lumbung padi, yang menjadi
ikon khas bangunan Suku Sasak. Bangunan ini dibuat di atas empat pilar kayu
dengan atap berbentuk topi yang terbuat dari alang-alang. Lumbung ini digunakan
untuk menyimpan hasil panen warga untuk kebutuhan pangan selama setahun, dan
masing-masing lumbung digunakan untuk menyimpan kebutuhan padi bagi 5 kepala
keluarga. Menurut
kepercayaan masyarakat Sasak, yang boleh mengambil padi adalah wanita yang
telah berkeluarga. Dipercaya jika hal ini dilanggar, maka wanita yang melanggar tidak akan mendapat
keturunan.
Adat
Istiadat Suku Sasak
Sambil menunjukkan Bale Tani, para pemandu biasanya akan
menceritakan pula adat istiadat masyarakat Suku Sasak, salah satunya adalah
adat merarik atau selarian. Adat ini
adalah ketika seorang jejaka berniat untuk menikah, ia akan melakukan “kawin
lari”, dengan menculik gadis yang menjadi calon istrinya. Istilah "kawin
lari" bagi suku Sasak berbeda dengan "kawin culik". Pada
"kawin lari", telah terjadi kesepakatan antara sang jejaka dengan
sang gadis, sedangkan pada "kawin culik", sang jejaka menculik sang
gadis secara paksa. Setelah sang gadis dilarikan, beberapa hari kemudian pihak
lelaki akan mengirimkan utusan adat untuk melakukan mesejati, atau
memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anak gadisnya sudah
diculik dan akan dinikahkan. Selanjutnya akan dilakukan nyelabar, atau
kesepakatan mengenai biaya pesta pernikahan.
Menurut
adat istiadat Suku Sasak, cara “kawin culik” ini dianggap lebih kesatria
dibandingkan dengan melamar secara baik-baik. Walaupun tampaknya mudah untuk
dilakukan, namun banyak peraturan dan tata cara yang harus dipenuhi. Antara lain, penculikan harus dilakukan pada
malam hari, dan sang jejaka yang akan menculik harus membawa teman atau kerabat
sebagai pengecoh dan saksi serta pengiring, supaya proses penculikan tidak
terlihat oleh siapapun. Apabila proses penculikan terlihat, sang jejaka akan
dikenakan denda oleh pihak perempuan dan pihak desa. Setelah sang gadis
berhasil diculik, ia tidak boleh langsung dibawa ke rumah sang jejaka, tetapi
ke rumah kerabat pihak laki-laki terlebih dahulu. Selain itu, karena susunan
rumah adat Suku Sasak di mana kamar untuk anak perempuan berada di bagian
paling dalam dan terletak di tingkat atas, tentunya proses penculikan sang
gadis tidak akan mudah dan penuh perjuangan, karena sang jejaka harus melewati sesangkok yang ditempati orang tua sang
gadis.
Kain
Tenun Sasak
Kunjungan ke
Desa Sade belum lengkap jika tidak melihat tenunan karya para wanita di Desa
Sade. Bagi masyarakat Suku Sasak, ketrampilan menenun merupakan bagian dari
tradisi, di mana terdapat
aturan adat bahwa seorang perempuan Sasak tidak boleh menikah jika belum bisa
menenun. Ketrampilan ini dimanfaatkan untuk membantu perekonomian
keluarga, khususnya jika hasil pertanian kurang baik. Umumnya para wanita Suku
Sasak mulai belajar menenun pada usia 7 hingga 10 tahun. Salah satu produk kain
tenun yang menjadi ciri khas Suku Sasak adalah kain songket, yang terbuat dari
benang emas atau perak yang ditenun bersama benang katun atau sutra.
Pembuatan kain tenun di Desa Sade dimulai dari pemintalan
kapas menjadi benang. Benang tersebut kemudian diberi warna dan ditenun
menggunakan Alat Tenun
Bukan Mesin (ATBM) yang terbuat dari kayu dan bambu. Pembuatan kain songket
sepanjang 2 meter memerlukan waktu pengerjaan antara 1 minggu hingga 1 bulan,
bergantung pada tingkat kerumitan polanya. Harga satu lembar kain songket berkisar antara 100 ribu
hingga 350 ribu Rupiah. Di berbagai sudut Desa Sade terdapat kios-kios yang
menjajakan kain tenun, masing-masing kios merupakan koperasi yang dikelola
beberapa orang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar for this post