GENDANG BELEK MUSIK TRADISIONAL LOMBOK

By Unknown on 08.51

Filed Under:


Gendang belek musik perang sasak 



Sasak adalah nama suku yang mendiami pulau Lombok, pulau yang ketika zaman Belanda bernama Sunda Kecil. Suku ini mempunyai tradisi kebudayaan berupa kesenian gendang beleq. Tentang kesenian ini masyarakat Lombok ada yang menyebut musik gendang beleq dan ada yang menyebut tari gendang beleq, hal ini dikarenakan sang penabuh menari sambil membunyikan gendang beleq. Kedua pandangan di atas ada benarnya, karena musik dan tari terekspresi melalui bunyi dan gerak dalam pertunjukan gedang beleq. Akan tetapi pada beberapa grup gendang beleq saat ini, penari dan penabuh gendang beleq dimainkan oleh orang yang berbeda. 




   
 Gendang beleq merupakan sebuah alat musik tabuh berbentuk bulat panjang, terbuat dari pohon meranti yang dilubangi tengahnya, dengan kedua sisinya berlapis kulit kambing, sapi atau kerbau, dan jika dipukul (tabuh) akan berbunyi dang..dang atau dung..dung. Bunyi dang..dang itulah nampaknya yang diabadikan untuk menamainya. Adapun awalan gen hanyalah pelengkap untuk memudahkan penyebutan. Kata beleq dalam bahasa Sasak berarti besar. Dengan demikian gendang beleq berarti gendang besar, lebih besar ukurannya dari gendang yang dipakai di Lombok dan daerah lain umumnya. Menurut Mamiq Hidayat, salah satu pemerhati kesenian Sasak, dinamai gendang beleq karena ;
“Selain bentuknya yang besar, serta suara yang paling keras, gendang dalam pertunjukannya menempati posisi paling depan sendiri, bahkan zaman dulu yang berdiri hanya gendang dan beberapa penari saja, alat musik yang lain dimainkan sambil duduk”(Wawancara, Maret 2009). 

    Musik gendang beleq dilengkapi juga dengan gong, terumpang, pencek, oncer, dan seruling. Saat dimainkan sekilas akan terdengar tidak teratur bunyinya, dan ramai. Kesan pertama kali mendengar, irama, ritme dan suara serulingnya nampak seperti pada musik Bali. Sejarah mencatat bahwa Lombok pernah dikuasai oleh Kerajaan Bali yaitu Klungkung (abad 17) dan Karangasem (abad 18) dalam rentang waktu sangat lama (Suhartono, 1970). Pada Abad 17, Lombok menjadi perebutan antar Raja Bali Karangasem dan Makasar dari Sumbawa. Pada permulaan abad 17, orang Bali dari Karangasem menyeberang Selat Lombok dan mendirikan beberapa perkampungan serta membangun kontrol politik diwilayah Lombok Barat . pada saat yang sama, orang-orang Makasar dari Sumbawa menyeberang Selat Alas dan membangun kontrol politik di wilayah Lombok Timur (Kraan, 1980 : 2). Latar belakang sejarah kolonialisasi Bali yang cukup panjang, tampaknya juga berbekas pada musik gendang beleq ini. Setyaningsih (2009) dalam tesisnya menulis bahwa tradisi sasak seperti merariq, gedang beleq, dan perisean merupakan pengaruh dari Kerajaan Bali.


   Musik gendang beleq konon pada zaman dahulu digunakan sebagai musik  perang, yaitu untuk mengiringi dan memberi semangat para ksatria dan prajurit kerajaan Lombok yang pergi atau pulang dari medan perang. Musik gendang beleq difungsikan juga sebagai pengiring upacara adat seperti merarik (pernikahan), ngurisang (potong rambut bayi), ngitanang atau potong loloq (khitanan), juga begawe beleq (upacara besar). Gendang beleq dipertunjukkan juga untuk hiburan semata seperti festival, acara ulang tahun kota, dan ulang tahun provinsi. Para penonton biasanya akan berdiri menunggu di pinggir jalan, ikut-ikutan menari, atau hanya sekedar bersorak gembira.
Musik gendang beleq dimainkan oleh dua orang pemain yang disebut sekaha. Pada zaman dahulu sekaha berasal dari masyarakat yang dipilih oleh sekaha senior. Saat ini sekaha direkrut dengan cara mengundang siapa saja yang ingin berlatih menjadi sekaha (biasanya di rumah pemimpin sekaha yang sudah ada), dari mulai anak muda sampai orangtua. Para sekaha ini kebanyakan adalah keturunan, artinya mereka saat ini menjadi sekaha karena dahulunya bapak atau kakeknya adalah sekaha juga.
Satu hal yang menjadi keluhan para pelestari gendang beleq saat ini adalah sulitnya mencari sekaha, bukan memainkannya. Anak-anak muda Lombok sekarang, lebih banyak suka naik motor kebut-kebutan, nongkrong di jalan atau gang, menghabiskan waktunya di depan televisi menonton sinetron atau acara musik populer yang memang menjamur saat ini, bergaya pakai handphone atau mode baju atau kaos daripada diajak belajar musik gendang beleq.

Musik gendang beleq dikelola sendiri oleh masyarakat secara mandiri, biasanya mereka mendirikan komunitas-komunitas budaya di beberapa kampung Lombok. Masyarakat membiayai aktifitas mereka dari hasil manggung seperti untuk festival budaya, ulang tahun kota, penggembira kampanye salah satu partai tertentu, dan yang paling sering untuk mengiringi upacara adat merarik. Ini berbeda dengan zaman dahulu dimana gendang beleq masih banyak terdapat di kampung-kampung Lombok.
Musik gedang beleq sejak dahulu dipertunjukan dengan cara tradisional. Semua sekaha dalam pertunjukan gendang beleq harus memakai pakaian adat Sasak lengkap dengan atributnya. Namun sekarang karena pengaruh zaman modern, baju dan celana sekaha berbeda-beda warna antar kelompok gendang beleq, bahkan sesuai dengan pesanan sponsor. Namun demikian, yang tidak boleh ditingalkan dan harus dipakai serta bercorak batik adalah sapo‘ (ikat kepala), dodot (ikat pinggang), dan bebet (kain yang melapisi pinggang seperti pada pakaian Melayu Minangkabau). Kedua atribut ini diangggap penting, karena dianggap satu-satunya identitas yang membedakan dengan musik modern.
Beberapa kelompok gendang beleq saat ini membuat seragam sendiri, dengan bordir atau sablon tulisan nama kelompok di belakang seragam. Melihat kondisi ini, masyarakat tertentu (baca : orangtua Sasak) memandang perilaku ini negatif. Mereka menganggap kelompok gendang beleq seperti ini tidak melestarikan budaya dengan utuh, karena tidak memakai seragam adat. Cemoohan juga sering ditujukan pada sekaha yang berusia muda, dimana ketika pertunjukan gendang beleq mereka memakai sapo‘, dodot, bebet sembarangan, memakai anting-anting atau hanya sekedar memakai kaos.
Berikut mengenal alat-alat yang terdapat dalam musik gendang beleq :
1. Gendang beleq, terbuat dari pohon meranti besar gelondongan yang dipotong, berbentuk silinder dengan lubang yang besar ditengahnya berdiameter kurang lebih 50 centimeter dan panjang 1,5 meter, lubang kayu ditutup dengan kulit sapi atau kambing yang telah disamak. Di ujung kanan kiri gendang dipasang pengait untuk memasang tali atau selendang agar dapat diselampirkan (digantungkan) di leher atau bahu. Bentuknya yang besar, panjang dan berat, terlihat tidak menyulitkan pemain untuk memukulnya.
2. Terumpang, alat ini berbentuk seperti wajan besar yang tengahnya terdapat bundaran kecil yang berupa benjolan. Terumpang terbuat dari kuningan, dalam gendang beleq terdapat dua buah terumpang.
3. Gong, hampir sama dengan terumpang hanya ukurannya lebih besar, terbuat dari kuningan atau tembaga, jika dipukul akan menghasilkan suara yang mendengung.
4. Kenceng (dibaca seperti kata kelereng), terbuat dari kuningan juga, berbentuk seperti piring dengan tengah luarnya diberi tonjolan dan tali untuk pegangan. Kenceng ini terdiri dari dua pasang, masing-masing orang memegang sepasang. Bunyi dan irama kenceng inilah yang membuat musik gendang beleq terdengar sama dengan musik Bali.
5. Suling atau seruling, dibuat dari bambu dengan lubang-lubang kecil di tubuh bambu untuk menghasilkan bunyi merdu. Terdapat dua model seruling yang di pakai dalam gendang beleq, yang panjangya kurang lebih 50 centimeter dan 30 centimeter.
6. Oncer atau petuk, berbentuk seperti gong tetapi ukurannya lebih kecil dari terumpang, terbuat dari kuningan atau tembaga.
7. Pencek, berbentuk seperti kenceng tetapi bentuknya kecil-kecil dan diletakkan pada sebuah papan kayu yang digantung di leher.
8. Alat penabuh dan pemukul, alat tabuh gendang berupa kayu pohon kelapa sepanjang 50 centimeter dengan ujungnya dibalut kain, dirajut benang dan dilapisi lem agar kuat (bentuk mondol). Alat pemukul sama dengan penabuh hanya balutan kain agak kecil dan tipis.
Pemain gendang beleq dalam bahasa Sasaknya disebut Sekaha. Jenis kelamin semua sekaha adalah laki-laki, dari mulai anak kecil umur 7 tahun sampai orangtua umur 60 tahun. Menurut keterangan beberapa sekaha, sejak dulu pemain gendang beleq pasti laki-laki, karena berat menggendongnya. Biasanya perempuan hanya sebagai penari tambahan saja.
Dalam satu rombongan musik gendang beleq terdapat kurang lebih 17 sekaha, terkadang 20 atau lebih, dengan sekaha cadangan untuk penabuh gendang atau peniup seruling. Ada juga rombongan gendang beleq yang dilengkapi dengan kelompok penari khusus, sehingga terlihat banyak sekali personelnya. Lebih jelas uraiannya di bawah ini :
Empat sekaha penabuh gendang beleq,  biasanya dipilih sekaha yang berbadan besar karena dianggap kuat, namun tidak sedikit ditemukan penabuh gendang yang berbadan kurus.
Enam sekaha pemukul kenceng, setiap sekaha memainkan sepasang kenceng. Kenceng dimainkan dengan cara ditepuk, seperti menangkupkan dua piring secara bersamaan. Satu sekaha untuk peniup suling atau seruling dengan satu peniup cadangan. Dua sekahan pemukul oncer atau petuk, dengan cadangan satu sekaha. Dari semua alat musik petuk mudah untuk dipukul, karena iramanya monoton.
Saat pertama kali menyaksikan pertunjukan gendang beleq, cara memainkan musik ini terlihat begitu rumit dan harus hati-hati. Jika dicermati, secara umum memainkan musik gendang beleq terbagi dalam tiga proses, yaitu :
Proses ini dimulai dengan menyiapkan mengecek alat dan sekaha, apakah sudah lengkap atau belum. Jika belum lengkap alatnya harus dicari, dan jika sekaha nya tidak hadir akan dicari penggantinya. Jika sudah lengkap semua, akan diteruskan pada proses selanjutnya.
Proses latihan merupakan proses yang paling vital sebelum memulai permainan, karena proses ini bertujuan untuk melihat apakah para sekaha sudah siap semua, konsentrasi dan semangat, juga untuk mengecek apakah alat-alatnya bisa dipergunakan dengan baik, jika belum maka akan diperbaiki terlebih dulu. Apabila dalam proses latihan ini tidak bagus, maka umumnya itu akan berdampak pada pertunjukannya. Namun karena para sekaha itu sudah terbiasa memainkan, maka kesalahan itu dapat teratasi dengan cepat, yang sulit adalah jika sekaha yang mahir berhalangan dan diganti dengan sekaha baru, proses latihan ini akan mensiasitanya. Jika sudah dirasa memadai beranjak pada proses selanjutnya.
Alat yang pertama dibunyikan adalah gendang beleq. Biasanya sekaha akan menabuh dua kali kanan dan satu kali kiri dengan pukulan berirama. Itu sebagai tanda untuk alat selanjutnya siap menyambut, dan akan disambut oleh kenceng dengan tepukan berirama langsung menghentak. Seterusnya diikuti oleh petuk, seruling dan lainya, semenjak itu seruling tidak pernah berhenti berbunyi.
Jika dilihat dari alunan musiknya yang ramai, cara memainkan gendang beleq cukup perlu konsentrasi yang tinggi.
Musik gendang beleq dimulai berdasar komando dari penabuh gendangnya, ibarat sebuah orchestra, penabuh gendang adalah konduktornya. Walaupun dalam permainannya didominasi oleh suara terumpang, seruling dan kenceng, namun karena bunyinya paling keras, musik ini tetap dikomando oleh suara gendang. Umumnya irama musik yang dimainkan adalah lagu-lagu Sasak, namun sekarang sering terdengar irama dangdut dan Melayu ikut mewarnai.
Nilai adalah imajinasi orang atau komunitas terhadap perilaku atau lingkungan yang dialaminya (Anderson, 2002). Gendang beleq dalam bayangan manusia Sasak memiliki makna yang luhur. Musik gendang beleq memiliki beberapa makna, antara lain :
Nilai filosofis. Melestarikan gendang beleq dimaknai manusia Sasak sebagai menata dan memelihara diri sendiri, karena di dalam musik gendang beleq terkandung keindahan, ketelitian, ketekunan, kesabaran, kebijakan dan kepahlawanan. Berdasar penilaian ini, musik gendang beleq bagi orang Sasak dianggap sakral. Musik ini tidak mungkin ada tanpa nilai-nilai filosofis tersebut difahami terlebih dahulu oleh nenek moyang Sasak. Mereka mentradisikannya agar difahami oleh keturunan mereka dan dipelajari muatannya.
Nilai psikologis. Keterikatan akan satu imajinasi yang sama, yaitu sama-sama manusia Sasak yang memiliki berbagai kesamaan, seperti nenek moyang, geografis, budaya bahkan mungkin agama. Orang Lombok yang lama kuliah di Jogjakarta selalu membicarakan gendang beleq dan berbagai budaya mereka jika bertemu, bahkan sambil makan plecing (sayur khas Lombok). Di asrama mahasiswa Lombok di Condong Catur, Jogjakarta, juga terdapat alat-alat gendang beleq. Realitas ini tentu saja bertujuan untuk terus menyambung imajinasi Sasak sebagai manusia yang terikat secara psikologis dengan tanah leluhurnya. 
rencek yang harus ada pada musik gendang belek

Nilai sosiologis. Seni musik gendang beleq dapat menjadi ajang untuk interaksi sosial yang terbuka tanpa sekat status sosial, pendidikan, atau keturunan.  Mengenal dan mencari jodoh bagi muda-mudi, tidak sedikit mereka akhirnya menikah setelah berkenalan ketika bersama menonton gendang beleq. Pertemanan dan kekerabatan baru, sering terjadi jika ada pertunjukan gendang beleq. Bagi masyarakat yang apabila dalam perkawinan anaknya dimeriahkan oleh gendang beleq, pertunjukan ini akan menaikkan status sosial mereka di masyarakat (semakin naik statusnya jika pengiring kelompok gendang beleq lebih dari satu). Bagi golongan bangsawan Sasak (Lalu, Baiq, Raden atau Dende), gendang Beleq menjadi penanda (baca; identitas) penting dirinya dimata orang Sasak yang lain (kecuali bangsawan yang beragama Islam dan menganggap gendang beleq negatif).
Nilai ekonomis. Gendang beleq dapat menjadi profesi yang menghasilkan, walaupun hasilnya tidak banyak, namun ketika sulit mendapatkan pekerjaan serta banyak pengangguran, ikut rombongan gendang beleq dapat menjadi alternatif untuk dapat uang walaupun hanya sekedar untuk rokok dan makan.
Musik gendang beleq masih sering dipertunjukkan di Lombok hingga saat ini, bahkan tahun 2008 lalu atas sponsor rokok, di Lombok telah diselenggarakan festival gendang beleq sepulau Lombok. Peristiwa seperti ini tentulah sangat menggembirakan dan perlu terus digalakkan, agar keberadaan musik tradisional gedang beleq dapat terus terjaga. Pemerintah, pihak swasta dan pelaku budaya Sasak diharapkan dapat bergandengan tangan untuk terus mentradisikan musik ini, agar tetap diminati oleh masyarakat Lombok dan tidak kalah dengan musik modern. Dan semoga tidak hanya sekedar mementaskan saja, tetapi tentu saja dengan tetap berusaha menjaga kesakralannya, dari pada hanya sekedar hiburan semata.

0 komentar for this post

Posting Komentar